Tiba di kampung OeUe (air
rotan) lewat waktu Ashar, 9 Juni 2012, AULIA dan Tim DaquTV (Daarul Quran
Televisi) disambut tarian perang Maekat. Sejumlah anak lelaki, perempuan, dan
orangtua mengenakan busana adat kain tenun warna-warni, membentuk formasi segi
empat. Yang laki-laki memegang parang panjang. Semuanya menari dengan rancak
dan gemulai.
“Waduh, gawat nih, kita
diajak perang.” Desis Fajar Nangtjik, juru kamera DaquTV. “Kita tangan kosong
lagi,” celetuk Edi Suhaedi, asisten Fajar. “Tenang, ini Cuma upacara adat untuk
memuliakan tamu,” kata Mujito, pemandu kami. “Ini sudah mendingan, yang
perempuan kita minta mengenakan kerudung,” imbuh Kang Ji, sapaan akrabnya.
Usai tarian yang diiringi
gamelan, kepala dusun disertai perangkat kampung lainnya, melafalkan beberapa
bait pantun dalam bahasa setempat. Nobisa Zulkarnaen (38), putra Kepala Dusun
Arifin Nobisa menjelaskan, syair tersebut isinya ucapan selamat datang kepada
tetamu yang datang jauh-jauh dari Jakarta ke Dusun OeUe, Desa Mauleum,
Kecamatan Amanuban Timur, Kabupaten Timu Tengah Selatan, Propinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT). Setelah itu, kami diminta berdiri lalu kami dikalungi selendang
hasil tenunan kaum perempuan setempat. Kain songket OeUe itu didominasi warna
kuning dan merah.
Dusun OeUe terpencil di
perbukitan yang agak gersang dan dingin. Kampung ini dapat dijangkau dengan
perjalanan berkendara mobil double gardan selama enam jam dari Kota Kupang.
Akan tetapi, kalau hujan sepertiga akhir rute harus ditempuh dengan jalan kaki.
Maklum, harus melintasi sungai dan jalan tanah berbatuan berkelok naik turun.
Desa Mauleum dihuni 220
keluarga Muslim yang merupakan minoritas di NTT. Mereka hampir semuanya dhuafa.
Menurut Arifin Nobisa, Islam masuk Oeue
sebelum tahun 1967. Dimulai dengan bersyahadatnya Raja Soe Gabriel Isu di
Kupang, yang kemudian berganti nama menjadi Gung Isu.
Arifin nobisa seorang
mantan pengikut Raja soe tersisa kemudia
turut masuk Islam, ia menjadi Muslim pertama di Dusun OeUe. Namun, setelah
itu jamaah muallaf Mauleum tidak terbina. Sampai akhirnya Dewan Da’wah
islamiyah Indonesia mengirimkan da’i
kesana pada tahun1990-an.
Ummat Muslim Oeue semakin
berkembang dengan pulangnya kader-kader da’i asal kampung ini, seperti Ustadz
Syarifudin Ridwan Nobisa dan Zulkarnain Arifin Nobisa. Keduanya alumnus
Universitas Islam Nusantara (Uninus) Bandung dan Pondok Pesantren Gunungjati,
Cirebon.
Pada 2012, Dewan Da’wah
mengundang Program Pembibitan Penghafal al-Quran (PPPA) Daarul Quran untuk
membuat program di Oeue. Setelah Tim PPPA menyurvei lokasi dipandu Ustadz
M.Ramli Daeng dari Dewan Da’wah NTT, dimulailah Program Kampung Qur’an OeUe.
Program kampung Qur’an
adalah program pembangunan komunitas religius berbasis penghafal Al-Quran di
pedalaman dan desa-desa terpencil.” Terang Suanaryo Adhiatmoko, Wakil Direktur
PPPA. Sebelum di Oeue, kampung Quran sudah dibangun di Glagah Harjo lereng
selatan Gunung Merapi, Sleman, Yogyakarta.
Kampung Quran dimulai
dengan gotong royong membangun 50 unit rumah sederhana sehat berukuran 4x6
meter persegi. “Hunian ini sebagai pengganti rumah adat Ume Kbubu,” jelas Kang
Ji, koordinator lapangan pembangunan Kampung Quran.
Ume Kbubu berbentuk rumah
bulat beratap halang rendah tanpa jendela. Ia menjadi tempat tinggal sekeluarga
sekaligus lumbung penyimpan stok pangan, seperti jagung dan ketela. “Malah
sebelum mereka Muslim di dalamnya juga jadi kandang babi dan anjing,” ungkap
Zulkarnain Nobisa.
Sunaryo dan Ustadz Ramli
prihatin, masalah di OeUe bukan hanya soal hunian. Kampung ini juga sulit air
dan selalu dilanda paceklik pangan tiap musim kemarau. Melalui musyawarah warga
desa, dicapai kesepakatan untuk memulai ikhtiar menata hidup yang lebih sehat
dan islami. Sebanyak 50 keluarga dhuafa yang disepakati mendapat prioritas untuk
menerima bantuan rumah sederhana. Sedangkan Ume Kbubu akan difungsikan sebagai
dapur dan lumbung saja.
Di dalam rumah Quran akan
diterapkan tradisi mengaji untuk anak-anak mereka dan pendampingan cara
beribadah bagi para orangtuanya. Masjid An-Nuur, satu-satunya masjid di Mauleum
menjadi sentral pendidikan membaca dan menghafal Al-Quran. Sebagai
kelanjutannya, kader-kader belia akan dikirim ke Rumah Tahfidz di Kupang yang
dikelola ustadz Muhammad Ramli.
Ketika AULIA dan DaquTV
menjenguk OeUe, 50 fondasi rumah sudah selesai dikerjakan. Sedangkan rumah yang
sudah berdiri baru dua unit. “Pembangunan memang agak lama, karena memakai
sistem gotong royong dengan kemampuan menukang warga yang apa adanya.” Jelas
Kang Ji.
Namun, lelaki asal Jawa
Timur itu bersyukur, lewat progam ini bisa mengader lelaki setempat jadi tukang
dan kernet (asisten tukang). Sekarang, setidaknya sudah lima petani OeUe yang
berprofesi tukang bangunan. Mereka pun tak lagi cemas menghadapi musim paceklik
karena sudah punya keahlian untuk dijual. Sedangkan kaum bapak dan pemuda
lainnya rata-rata siap jadi kenek. “mereka kini sudah paham konsep ‘sembilan
tiang’ untuk mendirikan sebuah bangunan sederhana,” ujar Zulkarnain sambil
tertawa.
Sumber : majalah AULIA