Sabtu, 30 November 2013

GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Selama sepuluh tahun terakhir ini, istilah Good Corporate Governance (GCG) kian populer. Tak hanya populer, istilah tersebut juga ditempatkan di posisi terhormat. Pertama, GCG merupakan salah satu kunci sukses perusahaan untuk tumbuh dan menguntungkan dalam jangka panjang, sekaligus memenangkan persaingan bisnis global. Kedua, krisis ekonomi di kawasan Asia dan Amerika Latin yang diyakini muncul karena kegagalan penerapan GCG (Daniri,2005).
Good Corporate Governance (GCG) secara definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder (Monks,2003). Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini, pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada waktunya dan, kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder.
Ada empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep good corporate governance, (Kaen, 2003; Shaw, 2003) yaitu fairness, transparency, accountability, dan responsibility. Keempat komponen tersebut penting karena penerapan prinsip good corporate governance secara konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan dan juga dapat menjadi penghambat aktivitas rekayasa kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan. Konsep good corporate governance baru popular di Asia. Konsep ini relatif berkembang sejak tahun 1990-an. Konsep good corporate governance baru dikenal di Inggris pada tahun 1992. Negara-negara maju yang tergabung dalam kelompok OECD (kelompok Negara-negara maju di Eropa Barat dan Amerika Utara) mempraktikkan pada tahun 1999.

KONSEP GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Istilah GCG telah dikenal luas dalam masyarakat tetapi belum dipahami dengan baik. Secara umum GCG adalah sistem dan struktur yang baik untuk mengelola perusahaan dengan tujuan meningkatkan nilai pemegang saham serta mengakomodasi berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan (stakeholders) seperti; pemegang saham, konsumen, pekerja, pemerintah dan masyarakat luas. Dengan demikian konsep ini dengan cepat diterima oleh masyarakat luas bahkan kinerja akvitas suatu perusahaan kini ditentukan sejauh mana keseriusannya menerapkan GCG. 

PRINSIP-PRINSIP GCG
Secara umum terdapat lima prinsip dasar dari good corporate governance yaitu:
1. Transparency (keterbukaan informasi), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.

2. Accountability (akuntabilitas), yaitu kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.

3. Responsibility (pertanggungjawaban), yaitu kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku.

4. Independency (kemandirian), yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manajemen yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.

5. Fairness (kesetaraan da kewajaran), yaitu perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hakhak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku. Esensi dari corporate governance adalah peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang berlaku.

TUJUAN PENERAPAN GCG
Tujuan Penerapan Good Corporate Governance Penerapan sistim GCG dalam suatu organisasi diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) melalui beberapa hal berikut:
1. Meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan kesinambungan suatu organisasi yang memberikan kontribusi kepada terciptanya kesejahteraan pemegang saham, pegawai dan stakeholders lainnya dan merupakan solusi yang elegan dalam menghadapi tantangan organisasi kedepan

2.  Meningkatkan legitimasi organisasi yang dikelola dengan terbuka, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan

3.  Mengakui dan melindungi hak dan kewajiban para stakeholders

4. Pendekatan yang terpadu berdasarkan kaidah-kaidah demokrasi, pengelolaan dan partisipasi organisasi secara legitimate

5. Menimalkan agency cost dengan mengendalikan konflik kepentingan yang mungkin timbul antara pihak prinsipal dengan agen

6. Memimalkan biaya modal dengan memberikan sinyal positif untuk para penyedia modal. Meningkatkan nilai perusahaan yang dihasilkan dari biaya modal yang lebih rendah, meingkatkan kinerja keuangan dan persepsi yang lebih baik dari para stakeholders atas kinerja perusahaan di masa depan

GCG lebih ditekankan kepada proses, sistim, prosedur dan peraturan yang formal ataupun informal yang menata organisasi dimana aturan main yang ada diterapkan dan ditaati. GCG berorientasi kepada penciptaan kesinambungan antara tujuan ekonomi dan sosial atau antara tujuan individu dan masyarakat (banyak orang) yang diarahkan kepada peningkatan efisiensi dan efektivitas dalam hal pemakaian sumber daya organisasi sejalan dengan tujuan organisasi. Dengan demikian maka dibutuhkan:
1.      Adiministrasi organisasi yang adil, efisien, dan terbuka yang selaras dengan tujuan organisasi

2.      Sistem dan prosedur operasional dan pengendalian organisasi dengan suatu pandangan untuk pencapaian tujuan stratejik jangka panjang organisasi yang dapat memberikan kepuasan kepada pemilik, pemasok pelanggan, dan penyandang dana dimana taat kepada hukum dan peraturan yang dibutuhkan dan cocok dengan kebutuhan lingkungan organisasi dan masyarakat

3.      Proses penciptaan dan penambahan nilai yang efisien dan untuk meyakinkan bahwa:
a.       Top manajemen mempunyai suatu tujuan dan rencana sratejik dan menempatkannya kepada struktur manajemen yang tepat (organisasi, sistim, dan orang) untuk mencapai tujuan dan rencana stratejik tersebut.
b.      Struktur diletakkan dalam fungsi untuk menjaga integritas, reputasi, dan tanggungjawab organisasi kepada semua stakeholders.
c.       Top manajemen bertindak sebagai sebuah katalisator, inisiator, mempengaruhi, menilai, dan memantau keputusan-keputusan stratejik dan aktifitas manajemen dan mempertahankan manajemen yang dapat dipertanggungjawabkan
d.      Meyakinkan bahwa top manajemen adalah bukan merupakan sebuah jabatan formalitas yang melupakan tugas manajemen untuk membuat keputusan stratejik organisasi yang gegabah
e.       Top manajemen membangun dan menetapkan suatu mekanisme untuk meyakinkan bahwa operasional organisasi dalam kondisi yang diinginkan oleh pemilik, bertanggungjawab kepada masyarakat banyak, meyakinkan bahwa pemakaian sumber daya secara efisien dan efektif dalam rangka memburu pencapaian tujuan organisasi dan selaras dengan harapan yang dituntut oleh stakeholders.
f.       Adanya sebuah mekanisme, proses dan sistim yang dibangun secara terus-menerus meyakinkan bahwa:
ü  Praktek-praktek tata kelola organisasi adalah efektif dan sesuai dengan kondisi internal organisasi
ü  Ada keterbukaan dan pertanggungjawabkan kepada berbagai stakeholders
ü  Organisasi patuh dan taat dengan hukum dan perundangan-undangan yang dibutuhkan
ü  Ada pengungkapan informasi yang memadai kepada stakeholders 
ü  Ada pemantauan yang efektif dan juga pengelolaan resiko, inovasi, dan perubahan organisasi
ü  Organisasi tetap berada pada kondisi yang relevan, legitimate, dan kompetitif
ü  Organisasi adalah menjanjikan, likuid, dan memiliki kontinuitas ke depan yang baik. 

TAHAP-TAHAP PENERAPAN GCG
Dalam pelaksanaan penerapan GCG di perusahaan adalah penting bagi perusahaan untuk melakukan pentahapan yang cermat berdasarkan analisis atas situasi dan kondisi perusahaan, dan tingkat kesiapannya, sehingga penerapan GCG dapat berjalan lancar dan mendapatkan dukungan dari seluruh unsur di dalam perusahaan.
Pada umumnya perusahaan-perusahaan yang telah berhasil dalam menerapkan GCG menggunakan pentahapan berikut (Chinn, 2000; Shaw,2003).

A.    Tahap Persiapan
Tahap ini terdiri atas 3 langkah utama:
1.      Awareness Building: Awareness building merupakan langkah awal untuk membangun kesadaran mengenai arti penting GCG dan komitmen bersama dalam penerapannya. Upaya ini dapat dilakukan dengan meminta bantuan tenaga ahli independen dari luar perusahaan. Bentuk kegiatan dapat dilakukan melalui seminar, lokakarya, dan diskusi kelompok.

2.      GCG Assessment: GCG Assessment merupakan upaya untuk mengukur atau lebih tepatnya memetakan kondisi perusahaan dalam penetapan GCG saat ini. Langkah ini perlu guna memastikan titik awal level penerapan GCG dan untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang tepat guna mempersiapkan infrastruktur dan struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan GCG secara efektif. Dengan kata lain, GCG assessment dibutuhkan untuk mengidentifikasi aspekaspek apa yang perlu mendapatkan perhatian terlebih dahulu, dan langkah-langkah apa yang dapat diambil untuk mewujudkannya.

3.      GCG Manual Building: GCG manual building, adalah langkah berikut setelah GCG assessment dilakukan. Berdasarkan hasil pemetaan tingkat kesiapan perusahaan dan upaya identifikasi prioritas penerapannya, penyusunan manual atau pedoman implementasi GCG dapat disusun. Penyusunan manual dapat dilakukan dengan bantuan tenaga ahli independen dari luar perusahaan. Manual ini dapat dibedakan antara manual untuk organ-organ perusahaan dan manual untuk keseluruhan anggota perusahaan, mencakup berbagai aspek seperti:
ü  Kebijakan GCG perusahaan
ü  Pedoman GCG bagi organ-organ perusahaan
ü  Pedoman perilaku
ü  Audit commitee charter
ü  Kebijakan disclosure dan transparansi
ü  Kebijakan dan kerangka manajemen resiko
ü  Roadmap implementasi

       B.     Tahap Implementasi
Setelah perusahaan memiliki GCG manual, langkah selanjutnya adalah memulai implementasi di perusahaan.
Tahap ini terdiri atas 3 langkah utama yakni:
1.      Sosialisasi, diperlukan untuk memperkenalkan kepada seluruh perusahaan berbagai aspek yang terkait dengan implementasi GCG khususnya mengenai pedoman penerapan GCG. Upaya sosialisasi perlu dilakukan dengan suatu tim khusus yang dibentuk untuk itu, langsung berada di bawah pengawasan direktur utama atau salah satu direktur yang ditunjuk sebagai GCG champion di perusahaan.

2.      Implementasi, yaitu kegiatan yang dilakukan sejalan dengan pedoman GCG yang ada, berdasar roadmap yang telah disusun. Implementasi harus bersifat top down approach yang melibatkan dewan komisaris dan direksi perusahaan. Implementasi hendaknya mencakup pula upaya manajemen perubahan (change management) guna mengawal proses perubahan yang ditimbulkan oleh implementasi GCG.

3.      Internalisasi, yaitu tahap jangka panjang dalam implementasi. Internalisasi mencakup upayaupaya untuk memperkenalkan GCG di dalam seluruh proses bisnis perusahaan kerja, dan berbagai peraturan perusahaan. Dengan upaya ini dapat dipastikan bahwa penerapan GCG bukan sekedar dipermukaan atau sekedar suatu kepatuhan yang bersifat superficial, tetapi benarbenar tercermin dalam seluruh aktivitas perusahaan.

        C.    Tahap Evaluasi
Tahap evaluasi adalah tahap yang perlu dilakukan secara teratur dari waktu ke waktu untuk mengukur sejauh mana efektivitas penerapan GCG telah dilakukan dengan meminta pihak independen melakukan audit implementasi dan scoring atas praktik GCG yang ada. Terdapat banyak perusahaan konsultan yang dapat memberikan jasa audit yang demikian, dan di Indonesia ada beberapa perusahaan yang melakukan scoring. Evaluasi dalam bentuk assessment, audit atau scoring juga dapat dilakukan secara mandatory misalnya seperti yang diterapkan di lingkungan BUMN. Evaluasi dapat membantu perusahaan memetakan kembali kondisi dan situasi serta capaian perusahaan dalam implementasi GCG sehingga dapat mengupayakan perbaikan-perbaikan yang perlu berdasarkan rekomendasi yang diberikan.

Sumber :


Senin, 25 November 2013

Bedah Jurnal (Good Corporate Governance)

PENGARUH PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP RETURN ON ASSET, NET PROFIT MARGIN DAN EARNING PER SHARE PADA PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DI CORPORATE GOVERNANCE PERCEPTION INDEX

1.      Latar Belakang
Diberlakukannya China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) pada awal 2010 membuat peta persaingan perdagangan di negara-negara ASEAN menjadi lebih kompetitif dikarenakan semakin mudahnya produsen asal China memasarkan produknya di negara-negara ASEAN termasuk Indonesia. China yang merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tertinggi di dunia akan menjadi ancaman yang serius bagi produsen dalam negeri.
Dengan dibukanya kerjasama antar China–Indonesia dalam bentuk CAFTA akan membuat produk-produk asal China yang harganya lebih murah dari produk lokal membanjiri pasar di Indonesia sehingga produk lokal akan mengalami kesulitan dalam pemasarannya.

Berdasarkan inventarisasi Komisi VI DPR, ada sepuluh sektor industri yang akan terpuruk jika CAFTA dilaksanakan yaitu meliputi industri tekstil dan produk tekstil (TPT), industri makanan dan minuman,  industri petrokimia,  industri peralatan dan mesin pertanian,  industri alas kaki, industry fiber sintetik, industri elektronik (termasuk kabel dan peralatan listrik), industry permesinan, industri rancang bangun serta industri baja (Suarakarya-online.com).
Menghadapi kondisi seperti ini seharusnya perusahaan dalam negeri memikirkan solusi-solusi yang memungkinkan untuk dilakukan agar dapat tetap bertahan dan memiliki nilai lebih dibandingkan dengan perusahaan asal China, salah satu cara yang dapat dilakukan perusahaan adalah dengan menerapkan Good Corporate Governance (GCG).

Good Corporate Governance (GCG) atau yang lebih dikenal dengan tata kelola perusahaan yang baik muncul sebagai pilihan sebab secara teoritis praktik good corporate governance dapat meningkatkan nilai perusahaan dengan cara meningkatkan kinerja keuangan perusahaan, mengurangi risiko yang mungkin dilakukan oleh dewan dengan keputusan-keputusan yang menguntungkan diri sendiri, dan umumnya corporate governance dapat meningkatkan kepercayaan investor.

Perusahaan meyakini bahwa implementasi GCG merupakan bentuk lain penegakan etika bisnis dan etika kerja yang sudah lama menjadi komitmen perusahaan,  dan implementasi GCG berhubungan dengan peningkatan citra perusahaan. Peran dan tuntutan investor dan kreditor asing mengenai penerapan prinsip GCG merupakan salah satu faktor dalam pengambilan keputusan berinvestasi pada suatu perusahaan. Prinsip – prinsip dasar dari Good Corporate Governance (GCG) pada dasarnya memiliki tujuan untuk memberikan kemajuan terhadap kinerja suatu perusahaan, salah satu diantaranya adalah profitabilitas perusahaan. Dan untuk tetap dapat bertahan hidup, perusahaan harus berada dalam kondisi yang menguntungkan (profitable).

2.      Variable, Data, Ukuran
     a.   Variable
ü  Variable Independen: Penerapan GCG (Good Corporate Governance).
ü  Variable Dependen: ROA (Return On Asset), NPM (Net Profit Margin), EPS (Earning Per Share).

            b.  Data
           Data penelitian berupa :
a)      Data nama perusahaan yang termasuk dalam pemeringkatan CGPI yang dilakukan oleh IICG (Indonesian Institute of Corporate Governance) selama tahun 2006-2009, dan
b)      Data perusahaan berupa data besarnya nilai ROA, NPM dan EPS dari masing-masing perusahaan selama 2006-2009.

             c. Ukuran
·         Nilai rata – rata (mean)
·         Standar Deviasi
·         Varian
·         Maksimum
·         Minimum
·         Sum
·         Range
·         Kurtosis
·         Skewness

3.      Cara Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini menggunakan data sekunder, yakni data yang telah dikumpulkan oleh lembaga pengumpul data dan dipublikasikan kepada masyarakat pengguna data. Data yang diperoleh meliputi laporan CGPI (Corporate Governance Perception Index) dan laporan keuangan perusahaan yang memenuhi kriteria sampel penelitian.
Data penelitian bersifat pooling yaitu gabungan dari data time series dan data cross section selama periode pengamatan tahun 2006-2009 untuk beberapa perusahaan yang terpilih menjadi sampel penelitian.

4.      Analisis
      a.       Teknik Sampling
           Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan yang digunakan oleh peneliti adalah :
1.      terdaftar dalam pemeringkatan CGPI dari tahun 2006 – 2009,
2.      merupakan perusahaan yang telah go public dari tahun 2006 – 2009, dan
3.      menerbitan laporan keuangan lengkap dari tahun 2006 - 2009.

      b.      Metode Analisis
    Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis statistic deskriptif, namun terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik sebelum melakukan pengujian hipotesis. Yakni sebagai berikut :
1.      Uji Normalitas
Tujuan uji normalitas ini adalah untuk mengetahui apakah dalam model regresi, variabel residual atau variabel pengganggu dalam bentuk distribusi normal atau tidak.

2.      Uji Autokorelasi
Uji ini bertujuan untuk melihat apakah dalam suatu model regresi linear ada korelasi atau kesalahan pengganggu pada periode t-1

3.      Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain.

      c.       Pengujian Hipotesis
          Hipotesis diuji dengan Analisis Regresi Linear Sederhana. Pengujian ini bertujuan untuk menguji apakah variabel independen yaitu penerapan Good Corporate Governance secara parsial berpengaruh terhadap variabel dependen yaitu kinerja keuangan yang diproksikan dengan ROA, NPM dan EPS.

Y = a + bX + e
         Dimana :
         Y         = Variabel Dependen (ROA, NPM, EPS)
         a          = koefisien
         b          = koefisien regresi yang menunjukkan peningkatan atau penurunan
variabel dependen yang didasarkan pada variabel independen
         X         = Variabel Independen (Penerapan GCG)
         E         = Error

1.      Koefisien Determinasi -R²
Koefisien determinasi pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen.

2.      Uji- t
Uji- t digunakan untuk menunjukkan seberapa jaub pengaruh variabel independen secara parsial terhadap variabel dependen.

5.   Hasil
Berdasarkan berbagai pengujian dan analisis data dari penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hasil mengenai pengaruh penerapan GCG terhadap ROA, NPM dan EPS sebagai berikut :

a. Penerapan GCG tidak berpengaruh terhadap ROA dengan tingkat signifikan 0,624 (>-0,05). Nilai adjusted R² = -0,022 menunjukkan bahwa variabel ROA tidak dapat dijelaskan oleh variabel penerapan GCG.

b. Penerapan GCG berpengaruh terhadap NPM dengan signifikan 0,012 (<0,05). Nilai adjusted R² = 0,149 menunjukkan bahwa variabel NPM dapat dijelaskan oleh variabel penerapan GCG sebesar 14,9% sedangkan sisanya sebesar 85,1% dijelaskan oleh faktor – faktor lain diluar model regresi.

c. Penerapan GCG berpengaruh terhadap EPS dengan signifikan 0,000 (<0,05). Nilai adjusted R² = 0,464 menunjukkan bahwa variabel EPS dapat dijelaskan oleh variabel penerapan GCG sebesar 46,4% sedangkan sisanya sebesar 53,6% dijelaskan oleh faktor – faktor lain diluar model regresi, dan

d. Penerapan GCG memiliki pengaruh yang bervariatif terhadap profitabilitas perusahaan.


6.   Pendapat
  • Diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk memperbanyak variabel yang digunakan dalam mengukur penerapan GCG, jangan hanya terpaku pada skor CGPI yang diterbitkan oleh IICG.
  • Untuk menilai profitabilitas suatu perusahaan, ada baiknya dapat menambahakan indikator lain selain ROA, NPM dan EPS yaitu bisa menambahkan alat ukur lain seperti ROI (Return On Investment) dan ROE (Return On Equity) atau masih banyak lagi alat ukur lainnya.
Sumber : Jurnal Akuntansi oleh Dani Riandi dan Hasan Sakti
              Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Sumatra Utara
              Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatra Utara

Minggu, 17 November 2013

Perilaku Etika Dalam Bisnis

A.    Lingkungan Bisnis Yang Mempengaruhi Perilaku Etika

Menurut Kamus Inggris Indonesia Oleh Echols and Shadily (1992: 219), Moral= moral, akhlak, susila (su=baik, sila=dasar, susila=dasar-dasar kebaikan); Moralitas = kesusilaan; Sedangkan Etik (Ethics) = etika, tata susila. Sedangkan secara etika (ethical) diartikan pantas, layak, beradab, susila. Jadi kata moral dan etika penggunaannya sering dipertukarkan dan disinonimkan, yang sebenarnya memiliki makna dan arti berbeda. Moral dilandasi oleh etika, sehingga orang yang memiliki moral pasti dilandasi oleh etika. Demikian pula perusahaan yang memiliki etika bisnis pasti manajernya dan segenap karyawan memiliki moral yang baik.
Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Langkah apa yang harus ditempuh?. Didalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara.
Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau sudah demikian, pengusaha yang menjadi pengerak motor perekonomian akan berubah menjadi binatang ekonomi. Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia bisnis tampaknya tidak menampakan kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari semakin meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak memperhatikan sumber daya alam maupun tindakan kolusi dan suap merupakan segelintir contoh pengabaian para pengusaha terhadap etika bisnis.
Sebagai bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa dipisahkan itu membawa serta etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan langsung maupun tidak langsung.

Setiap bisnis memiliki satu tujuan yang sama, yaitu  dapat tumbuh berkembang dan menghasilkan keuntungan. Untuk melakukan itu, kinerja dan perilaku semua karyawan di perusahaan diharapkan dapat memberikan  kontribusi pada kesuksesan perusahaan. Perilaku karyawan, bagaimanapun dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal di luar bisnis. Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap perilaku etika dalam bisnis, diantaranya yaitu :
a.       Budaya Organisasi
Budaya organisasi mencakup sikap manajemen terhadap karyawan, rencana pertumbuhan perusahaan dan otonomi / pemberdayaan yang diberikan kepada karyawan. Budaya perusahaan dapat memberikan dampak positif yaitu dapat membantu karyawan menjadi lebih produktif dan bahagia. Namun budaya perusahaan juga dapat memberikan dampak negatif, yaitu dapat menyebabkan ketidakpuasan karyawan, absen dan bahkan pencurian atau vandalisme.

b.      Ekonomi Lokal
Melihat seorang karyawan dari pekerjaannya dipengaruhi oleh keadaan perekonomian setempat. Jika pekerjaan yang banyak dan ekonomi booming, karyawan secara keseluruhan lebih bahagia dan perilaku mereka dan kinerja cermin itu. Di sisi lain, saat-saat yang sulit dan pengangguran yang tinggi, karyawan dapat menjadi takut dan cemas tentang memegang pekerjaan mereka.Kecemasan ini mengarah pada kinerja yang lebih rendah dan penyimpangan dalam penilaian. Dalam beberapa karyawan, bagaimanapun, rasa takut kehilangan pekerjaan dapat menjadi faktor pendorong untuk melakukan yang lebih baik.

c.       Reputasi Perusahaan dalam Komunitas
Persepsi karyawan tentang bagaimana perusahaan mereka dilihat oleh masyarakat lokal dapat mempengaruhi perilaku. Jika seorang karyawan menyadari bahwa perusahaannya dianggap curang atau murah, tindakannya mungkin juga seperti itu. Ini adalah kasus hidup sampai harapan. Namun, jika perusahaan dipandang sebagai pilar masyarakat dengan banyak goodwill, karyawan lebih cenderung untuk menunjukkan perilaku serupa karena pelanggan dan pemasok berharap bahwa dari mereka.

d.      Persaingan di Industri
Tingkat daya saing dalam suatu industri dapat berdampak etika dari kedua manajemen dan karyawan, terutama dalam situasi di mana kompensasi didasarkan pada pendapatan. Dalam lingkungan yang sangat kompetitif, perilaku etis terhadap pelanggan dan pemasok dapat menyelinap ke bawah sebagai karyawan berebut untuk membawa lebih banyak pekerjaan. Dalam industri yang stabil di mana menarik pelanggan baru tidak masalah, karyawan tidak termotivasi untuk meletakkan etika internal mereka menyisihkan untuk mengejar uang.

B.     Kesaling – tergantungan Antara Bisnis dan Masyarakat
Kesalingtergantungan bekerja didasarkan pada relasi kesetaraan, egalitarianisme. Manusia bekerjasama, bergotong - royong dengan sesamanya  memegang prinsip kesetaraan. Tidak akan tercipta sebuah gotong-royong jika manusia terlalu percaya kepada keunggulan diri dibanding yang lain, entah itu keunggulan ras, agama, suku, ekonomi dsb...
Dalam  masyarakat yang semakin maju, organisasi harus dikelola secara efektif dan efisien. Pada dasarnya, organisasi yang mengelola interaksi masyarakat dibagi menjadi organisasi profit dan nonprofit. Organisasi nonprofit lebih berorientasi pada tujuan nilai sosial dengan lebih menekankan kegiatan pelayanan pada kelompok masyarakat. Sedangkan organisasi profit lebih menekankan pada tujuan mendapatkan keuntungan.
Bisnis merupakan aktivitas yang meliputi pertukaran baarang, jasa, atau uang yang dilakukan oleh 2 pihak atau lebih dengan maksud untuk memperoleh  manfaat atau keuntungan. Dengan demikian, dalam  kegiatan bisnis tercipta suatu hubungan sosial yang saling ketergantungan. Dalam perkembangan selanjutnya bisnis tidak hanya menjaga tingkat keuntungan tertentu melainkan juga berkepentingan untuk menjaga kelangsungan hidup sumber daya alam dan lingkungan sosial.
Lingkungan bisnis memiliki ketergantungan yang kuat dengan fenomena kehidupan ekonomi anggota masyarakat yang lainnya, karena itulah bisniis mempunyai kepentingan untuk mengelola pihak-pihak yang berasal dari latar belakang. Perusahaan tidak hanya berhubungan dengan masyarakat melalui berbagai kebijakan, pada tingkat tertentu perusahaan juga berhubungan dengan masyarakat melalui aktivitas-aktivitas yang secara tidak langsung berhubungan dengan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan dan misi. Etika pergaulan bisnis dapat meliputi beberapa hal antara lain adalah :
a.       Hubungan antara Bisnis dengan Langganan / Konsumen
Hubungan antara bisnis dengan langgananya merupakan hubungan yang paling banyak dilakukan, oleh karena itu bisnis haruslah menjaga etika pergaulanya secara baik. Adapun pergaulannya dengan langganan ini dapat disebut disini misalnya saja :
                                      i.            Kemasan yang berbeda-beda membuat konsumen sulit untuk membedakan atau mengadakan perbandingan harga terhadap produknya.
                                    ii.            Bungkus atau kemasan membuat konsumen tidak dapat mengetahui isi didalamnya, sehingga produsen perlu menberikan penjelasan tentang isi serta kandungan atau zat-zat yang terdapat didalam produk itu.
                                  iii.            Pemberian servis dan terutama garansi adalah merupakan tindakan yang sangat etis bagi suatu bisnis. Sangatlah tidak etis suatu bisnis yang menjual produknya yang ternyata jelek  (busuk) atau tak layak dipakai tetap saja tidak mau mengganti produknya tersebut kepada pembelinya.

b.      Hubungan dengan karyawan
Manajer yang pada umumnya selalu berpandangan untuk memajukan bisnisnya sering kali harus berurusan dengan etika pergaulan dengan karyawannya. Pergaulan bisnis dengan karyawan ini meliputi beberapa hal yakni : Penarikan (recruitment), Latihan (training), Promosi atau kenaikan pangkat, Tranfer, demosi (penurunan pangkat) maupun lay-off atau pemecatan / PHK (pemutusan hubungan kerja). Didalam menarik tenaga kerja haruslah dijaga adanya penerimaan yang jujur sesuai dengan hasil seleksi yang telah dijalankan. Sering kali terjadi hasil seleksi tidak diperhatikan akan tetapi yang diterima adalah peserta atau calon yang berasal dari anggota keluarga sendiri.

c.       Hubungan antar Bisnis
Hubungan ini merupakan hubungan antara perusahaan yang satu dengan perusahan yang lain. Hal ini bisa terjadi hubungan antara perusahaan dengan para pesaing, grosir, pengecer, agen tunggal maupun distributor. Dalam kegiatan sehari-hari tentang hubungan tersebut sering terjadi benturan-benturan kepentingan antar kedunya. Dalam hubungan itu tidak jarang dituntut adanya etika pergaulan bisnis yang baik.

d.      Hubungan dengan Investor
Perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas dan terutama yang akan atau telah “go publik” harus menjaga pemberian informasi yang baik dan jujur dari bisnisnya kepada para insvestor atau calon investornya. Informasi yang tidak jujur akan menjerumuskan para investor untuk mengambil keputusan investasi yang keliru. Dalam hal ini perlu mandapat perhatian yang serius karena dewasa ini di Indonesia sedang mengalami lonjakan kegiatan pasar modal. Banyak permintaan dari para pengusaha yang ingin menjadi emiten yang akan menjual sahamnya kepada masyarakat. Dipihak lain masyarakat sendiri juga sangat berkeinginan untuk menanamkan uangnya dalam bentuk pembelian saham ataupun surat-surat berharga yang lain yang diemisi oleh perusahaan di pasar modal. Oleh karena itu masyarakat calon pemodal yang ingin membeli saham haruslah diberi informasi secara lengkap dan benar terhadap prospek perusahan yang go public tersebut. Jangan sampai terjadi adanya manipulasi atau penipuan terhadap informasi terhadap hal ini.

e.       Hubungan dengan Lembaga-Lembaga Keuangan
Hubungan dengan lembaga-lembaga keuangan terutama pajak pada umumnya merupakan hubungan pergaulan yang bersifat finansial. Hubungan ini merupakan hubungan yang berkaitan dengan penyusunan laporan keuangan. Laporan finansial tersebut haruslah disusun secara baik dan benar sehingga tidak terjadi kecendrungan kearah penggelapan pajak atau sebagianya. Keadaan tersebut merupakan etika pergaulan bisnis yang tidak baik.

C.     Kepedulian Pelaku Bisnis terhadap Etika
Dalam menciptakan etika bisnis, Dalimunthe (2004) menganjurkan untuk memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

1.      Pengendalian Diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis mampu mengendalikan diri mereka masing - masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang atau memakan pihak lain dengan menggunakan keuntungan tersebut. Walau keuntungan yang diperoleh merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etik".

2.      Pengembangan Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda.

3.      Mempertahankan Jati Diri
Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis. perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.

4.      Menciptakan Persaingan yang Sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah ke bawah, memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.

5.      Menerapkan Konsep “Pembangunan Berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa datang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.

6.      Menghindari Sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.

7.      Mampu Menyatakan yang Benar itu Benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.

8.  Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha ke bawah

9.      Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama

10.  Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati

11.  Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hokum positif yang berupa peraturan perundang-undangan

D.    Perkembangan dalam Etika Bisnis
Berikut perkembangan etika bisnis menurut Bertens (2000) :

Situasi Dahulu : Pada awal sejarah filsafat, Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan manusia bersama dalam negara dan membahas bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur.
Masa Peralihan: Pada Tahun 1960-an ditandai pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas di Amerika Serikat (AS), revolusi mahasiswa (di ibukota Perancis), penolakan terhadap establishment (kemapanan). Hal ini memberi perhatian pada dunia pendidikan khususnya manajemen, yaitu dengan menambahkan mata kuliah baru dalam kurikulum dengan nama Business and Society. Topik yang paling sering dibahas adalah corporate social responsibility.
Etika Bisnis Lahir di AS: Pada tahun 1970-an sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis di sekitar bisnis dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang meliputi dunia bisnis di AS.
Etika Bisnis Meluas ke Eropa: Tahun 1980-an di Eropa Barat, etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira-kira 10 tahun kemudian. Terdapat forum pertemuan antara akademisi dari universitas serta sekolah bisnis yang disebut European Business Ethics Network (EBEN).
Etika Bisnis menjadi Fenomena Global: Tahun 1990-an tidak terbatas lagi pada dunia Barat. Etika bisnis sudah dikembangkan di seluruh dunia. Telah didirikan International Society for Business, Economics, and Ethics(ISBEE) pada 25-28 Juli 1996 di Tokyo.

E.     Etika Bisnis dan Akuntan
Merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham, masyarakat.
Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati kaidah-kaidah etika sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Etika Bisnis dapat menjadi standar dan pedoman bagi seluruh karyawan termasuk manajemen dan menjadikannya sebagai pedoman untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan dilandasi moral yang luhur, jujur, transparan dan sikap yang profesional.

      Perilaku Profesi Akuntan
Profesi akuntan publik bisa dikatakan sebagai salah satu profesi kunci di era globalisasi untuk mewujudkan era transparansi bisnis yang fair, oleh karena itu kesiapan yang menyangkut profesionalisme mensyaratkan tiga hal utama yang harus dipunyai oleh setiap anggota profesi yaitu: keahlian, berpengetahuan dan berkarakter. Karakter menunjukkan personality seorang profesional yang diantaranya diwujudkan dalam sikap dan tindakan etisnya. Sikap dan tindakan etis akuntan publik akan sangat menentukan posisinya di masyarakat pemakai jasa profesionalnya. Profesi juga dapat dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi serta dengan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam. Untuk menegakkan akuntansi sebagai sebuah profesi yang etis, dibutuhkan etika profesi dalam mengatur kegiatan profesinya. Etika profesi itu sendiri, dalam kerangka etika merupakan bagian dari etika sosial. Karena etika profesi menyangkut etika sosial, berarti profesi (dalam hal ini profesi akuntansi) dalam kegiatannya pasti berhubungan dengan orang/pihak lain (publik). Dalam menjaga hubungan baik dengan pihak lain tersebut akuntan haruslah dapat menjaga kepercayaan publik.
Dalam kenyataannya, banyak akuntan yang tidak memahami kode etik profesinya sehingga dalam prakteknya mereka banyak melanggar kode etik. Hal ini menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap profesi akuntansi. Kondisi ini diperburuk dengan adanya perilaku beberapa akuntan yang sengaja melanggar kode etik profesinya demi memenuhi kepentingan mereka sendiri.
Dalam menjalankan profesinya seorang akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode etik profesi dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia. Kode etik Ikatan Akuntan Indonesia merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi dan juga dengan masyarakat. Selain dengan kode etik akuntan juga merupakan alat atau sarana untuk klien, pemakai laporan keuangan atau masyarakat pada umumnya, tentang kualitas atau mutu jasa yang diberikannya karena melalui serangkaian pertimbangan etika sebagaimana yang diatur dalam kode etik profesi.

Sumber