Minggu, 29 April 2012

Membangun Bisnis dari modal pesangon 62 yen ( Rp.6200 )


Untuk membangun meringankan beban keluarga yang mengalami kebangkrutan , di usia 9 tahun ia di kirim ke Osaka untuk menjadi pembantu rumah tangga dan merawat anak majikan , dengan gaji 10 sen perbulan.sekalipun masih anak-anak ia rajin dan bertanggung jawab.
Beranjak remaja, ia ingin bekerja. Dengan bantuan mantan majikan, ia mendapatkan pekerjaan di pabrik sepeda sebagai teknisi.di tempat barunya,remaja ini mau melakukan apa saja sekalipun di luar tugasnya sebagai teknisi, seperti; melayani pelanggan,memperbaiki sepeda,menolong membelikan rokok,menganggapi keluhan, melayani pembelian,dsb. Sikapnya yang terbuka menerima segala beban pekerjaan tersebut tanpa sadar membuat nya mulai mengerti cara mengelolah usaha,
                Karena tertarik dengan trem listrik,di usia 16 tahun, dia pindah ke pabrik Osaka Electic Light, bertugas mengatasi perbaikan kabel. Dua tahun bekerja,ia memutuskan untuk sekolah malam pada Kansai School of Commerce and Industry, di Osaka.pemuda ini bekerja sambil belajar. Karirnya meningkat terus hingga usia 22 tahun ia di angkat sebagai penguji para mandor.
                Setelah tujuh tahun bekerja dan cukup menguasai kelistrikan, ia memutuskan berhenti dan memulai usaha sendiri,saat itu ia hanya mempunyai  tabungan sebesar 20 yen(Rp.2000) dan mendapat pesangon sebesar 42 yen (Rp4.200).dengan uang senilai 62 yen (Rp6.200) ia mulai bisnis di rumah kontrakan berukuran sekitar 40 m .

                Apa yang biasa dilakukan pemuda ini dengan modal uang 62 yen ??
                Dengan modal sekecil itu , pemuda ini merintis perusahaan yang menjadi cikal bakal raksasa bisnis yang kini di kenal dengan Panasonic.

Pemuda itu adalah Konosuke Matsushita, pendiri Panasonic corporation, sebelumnya bernama Matsushita electic industrial. Kini Panasonic merupakan produser elektronik terbesar di jepang. perusahaan yang di dirikan oleh konosuke matsushita pada tahun 1918 ini oleh forbes global 500 di tempatkan pada peringkat 59 perusahaan terbesar di dunia dan masuk dalam 20 perusahaan terbesar di bidang semi konduktor.
                Pada tahun 2009, perusahaan yang berbisnis di kadoma jepang ini, menghasilkan pendapatan senilai US$ 77,2 miliar(atau 7.765.510 juta yen atau Rp 772 triliun), keuntungan bersih mencapai US$ 4,3 miliar (Rp 43 triliun).saat ini total asset perusahaaan yang memperkerjakan 292.250 karyawan ini mencapai US$ 64.830 miliar ( Rp 648,3 triliun).

                Terbayangkah perusahaan sebesar itu di bangun hanya dengan modal uang 62 yen dan dirintis dari rumah kontrakan seluas 40 meter ?? 



Sumber : Buku "No Excuse" karangan Isa Alamsyah

Sabtu, 28 April 2012

Hukum Dagang


            Perdagangan atau Perniagaan pada umumnya adalah pekerjaan membeli barang dari suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual barang itu di tempat lain atau pada waktu yang berikut dengan maksud memperoleh keuntungan.

            Pada zaman yang modern ini perdagangan adalah pemberian perantaraan antara produsen dan konsumen untuk membelikan dan menjualkan barang-barang yang memudahkan dan memajukan pembelian dan penjualan.

Ada beberapa macam pemberian perantaraan kepada produsen dan konsumen :

·         Pekerjaan orang-orang perantara sebagai makelar, komisioner, pedagang keliling dan sebagainya.
·         Pembentukan badan-badan usaha (asosiasi), seperti perseroan terbatas (PT), perseroan firma (VOF=Fa) Perseroan Komanditer, dsb yang tujuannya guna memajukan perdagangan.
·         Pengangkutan untuk kepentingan lalu lintas niaga baik didarat, laut maupun udara.
·         Pertanggungan (asuransi)yang berhubungan dengan pengangkutan, supaya si pedagang dapat menutup resiko pengangkutan dengan asuransi.
·         Perantaraan Bankir untuk membelanjakan perdagangan.
·         Mempergunakan surat perniagaan (Wesel/ Cek) untuk melakukan pembayaran dengan cara yang mudah dan untuk memperoleh kredit.


Pada pokoknya Perdagangan mempunyai tugas untuk :

·         Membawa/ memindahkan barang-barang dari tempat yang berlebihan (surplus) ke tempat yang berkekurangan (minus).
·         Memindahkan barang-barang dari produsen ke konsumen.
·         Menimbun dan menyimpan barang-barang itu dalam masa yang berkelebihan sampai mengancam bahaya kekurangan.

Pembagian jenis perdagangan, yaitu :

ü  Menurut pekerjaan yang dilakukan pedagang

§  Perdagangan mengumpulkan (Produsen – tengkulak – pedagang besar – eksportir)
§  Perdagangan menyebutkan (Importir – pedagang besar – pedagang menengah – konsumen)

ü  Menurut jenis barang yang diperdagangkan

§  Perdagangan barang, yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan jasmani manusia (hasil pertanian, pertambangan, pabrik)
§  Perdagangan buku, musik dan kesenian.
§  Perdagangan uang dan kertas-kertas berharga (bursa efek).

ü  Menurut daerah, tempat perdagangan dilakukan
§  Perdagangan dalam negeri.
§  Perdagangan luar negeri (perdagangan internasional), meliputi :
-        Perdagangan Ekspor
-        Perdagangan Impor
-        Perdagangan meneruskan (perdagangan transito)


Sumber Hukum Dagang

Hukum Dagang di Indonesia bersumber pada :
1.      Hukum tertulis yang dikodifikasikan
-   KUHD
-   KUHS

2.      Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan yaitu peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan.

KUHD mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Mei 1848 berdasarkan asas konkordansi.

Menurut Prof. Subekti SH, adanya KUHD disamping KUHS sekrang ini tidak pada tempatnya, karena KUHD tidak lain adalah KUHPerdata. Dan perkataan “dagang” bukan suatu pengertian hukum melainkan suatu pengertian perekonomian.

Dinegeri Belanda sudah ada aliran yang bertujuan menghapuskan pemisahan antara hukum perdata dengan hukum dagang.


1.      Pokok : KUHS, Buku III tentang Perikatan.
2.      Kebiasaan
-   Ps 1339 KUHS : Suatu perjanjian tidak saja mengikat untuk apa yang semata-mata telah diperjanjikan tetapi untuk apa yang sudah menjadi kebiasaan
-   Ps 1347 KUHS : hal-hal yang sudah lazim diperjanjikan dalam suatu perjanjian, meskipun tidak secara tegas diperjanjikan harus dianggap juga tercantum dalam setiap perjanjian semacam itu.

3.      Yurisprudensi
4.      Traktat
5.      Doktrin


Asas-Asas Hukum Dagang

Pengertian Dagang (dalam arti ekonomi), yaitu segala perbuatan perantara antara produsen dan konsumen.

Pengertian Perusahaan, yaitu seorang yang bertindak keluar untuk mencari keuntungan dengan suatu cara dimana yang bersangkutan menurut imbangannya lebih banyak menggunakan modal dari pada menggunakan tenaganya sendiri.

Perkumpulan-perkumpulan Dagang

A.    Persekutuan (Maatschap) : suatu bentuk kerjasama dan siatur dalam KUHS tiap anggota persekutuan hanya dapat mengikatkan dirinya sendiri kepada orang-oranglain. Dengan lain perkataan ia tidak dapat bertindak dengan mengatas namakan persekutuan kecuali jika ia diberi kuasa. Karena itu persekutuan bukan suatu pribadi hukum atau badan hukum.
B.     Perseroan Firma : suatu bentuk perkumpulan dagang yang peraturannya terdapat dalam KUHD (Ps 16) yang merupakan suatu perusahaan dengan memakai nama bersama. Dalam perseroan firma tiap persero (firma) berhak melakukan pengurusan dan bertindak keluar atas nama perseroan.
C.     Perseroan Komanditer (Ps 19 KUHD) : suatu bentuk perusahaan dimana ada sebagian persero yang duduk dalam pimpinan selaku pengurus dan ada sebagian persero yang tidak turut campur dalam kepengurusan (komanditaris/ berdiri dibelakang layar)
D.    Perseroan Terbatas (Ps 36 KUHD) : perusahaan yang modalnya terbagi atas suatu jumlah surat saham atau sero yang lazimnya disediakan untuk orang yang hendak turut.
*        Arti kata Terbatas, ditujukan pada tanggung jawab/ resiko para pesero/ pemegang saham, yang hanya terbatas pada harga surat sero yang mereka ambil.
*        PT harus didirikan dngan suatu akte notaries
*        PT bertindak keluar dengan perantaraan pengurusnya, yang terdiri dari seorang atau beberapa orang direktur yang diangkat oleh rapat pemegang saham.
*        PT adalah suatu badan hukum yang mempunyai kekayaan tersendiri, terlepas dari kekayaan pada pesero atau pengurusnya.
*        Suatu PT oleh undang-undang dinyatakan dalam keadaan likwidasi jika para pemegang saham setuju untuk tidak memperpanjang waktu pendiriannya dan dinyatakan hapus jika PT tesebutmenderita rugi melebihi 75% dari jumlah modalnya.

E.     Koperasi : suatu bentuk kerjasama yang dapat dipakai dalam lapangan perdagangan. Diatur diluar KUHD dalam berbagai peraturan :
o  Dalam Stb 1933/ 108 yang berlaku untuk semua golongan penduduk.
o  Dalam stb 1927/91 yang berlaku khusus untuk bangsa Indonesia
o  Dalam UU no. 79 tahun 1958
-             Keanggotaannya bersifat sangat pribadi, jadi tidak dapat diganti/ diambil alih oleh orang lain.
-             Berasaskan gotong royong
-             Merupakan badan hokum
-             Didirikan dengan suatu akte dan harus mendapat izin dari menteri Koperasi.

F.      Badan-badan Usaha Milik Negara (UU no 9/ 1969)
§  Berbentuk Persero : tunduk pada KUHD (stb 1847/ 237 Jo PP No. 12/ 1969)
§  Berbentuk Perjan : tunduk pada KUHS/ BW (stb 1927/ 419)
§  Berbentuk Perum : tunduk pada UU no. 19 (Perpu tahun 1960)


sumber : staff.ui.ac.id/internal/090603089/material/HUKUMDAGANG.doc

Minggu, 01 April 2012

Hukum Perjanjian


HUKUM PERJANJIAN
Ditinjau dari Hukum Privat
A. Pengertian Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :
a. Perbuatan
Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan.

b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.

c. Mengikatkan dirinya
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.

B. Syarat sahnya Perjanjian
Agar suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap
perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.

2. Cakap untuk membuat perikatan
Para pihak mampu membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena prerilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian. Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
·         Orang-orang yang belum dewasa
·         Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
·         Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).

3. Suatu hal tertentu
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.

4. Suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Syarat pertama dan kedua menyangkut subyek, sedangkan syarat ketiga dan keempat mengenai obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
Misal:
Dalam melakukan perjanjian pengadaan barang, antara TPK (Tim Pelaksana Kegiatan) dengan suplier, maka harus memenuhi unsur-unsur:
·         TPK sepakat untuk membeli sejumlah barang dengan biaya tertentu dan supplier sepakat untuk menyuplai barang dengan pembayaran tersebut. Tidak ada unsur paksaan terhadap kedua belah pihak.
·        TPK dan supplier telah dewasa, tidak dalam pengawasan atau karena perundangundangan, tidak dilarang untuk membuat perjanjian.
·         Barang yang akan dibeli/disuplai jelas, apa, berapa dan bagaimana.
·   Tujuan perjanjian jual beli tidak dimaksudkan untuk rekayasa atau untuk kejahatan tertentu (contoh: TPK dengan sengaja bersepakat dengan supplier untuk membuat kwitansi dimana nilai harga lebih besar dari harga sesungguhnya).
Dari uraian di atas, timbul satu pertanyaan, bagaimana jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi ?
Ada dua akibat yang dapat terjadi jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat di atas.

Pasal 1331 (1) KUH Perdata:
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Apabila perjanjian yang dilakukan obyek/perihalnya tidak ada atau tidak didasari pada itikad yang baik, maka dengan sendirinya perjanjian tersebut batal demi hukum. Dalam kondisi ini perjanjian dianggap tidak pernah ada, dan lebih lanjut para pihak tidak memiliki dasar penuntutan di depan hakim. Sedangkan untuk perjanjian yang tidak memenuhi unsur subyektif seperti perjanjian dibawah paksaan dan atau terdapat pihak dibawah umur atau dibawah pengawasan, maka perjanjian ini dapat dimintakan pembatalan (kepada hakim) oleh pihak yang tidak mampu termasuk wali atau pengampunya. Dengan kata lain, apabila tidak dimintakan pembatalan maka perjanjian tersebut tetap mengikat para pihak.
Kapan perjanjian mulai dinyatakan berlaku ?
Pada prinsipnya, hukum perjanjian menganut asas konsensualisme. Artinya bahwa perikatan timbul sejak terjadi kesepakatan para pihak.
Misal:
Pada saat terjadi musyawarah penanganan masalah, pelaku menyatakan bahwa ia akan mengembalikan dana tersebut bulan depan. Maka, sejak ia menyatakan kesediaannya, sejak itulah perikatan terjadi atau berlaku. Bahkan bila pada saat itu tidak dilengkapi dengan adanya pernyataan tertulis. Satu persoalan terkait dengan hukum perjanjian adalah bagaimana jika salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian atau wan prestasi ?
Ada 4 akibat yang dapat terjadi jika salah satu pihak melakukan wan prestasi yaitu:
1.      Membayar kerugian yang diderita oleh pihak lain berupa ganti rugi
2.      Dilakukan pembatalan perjanjian
3.      Peralihan resiko
4.      Membayar biaya perkara jika sampai berperkara dimuka hakim
Mencari pengakuan akan kelalaian atau wan prestasi tidaklah mudah. Sehingga apabila yang bersangkutan menyangkal telah dilakukannya wan prestasi dapat dilakukan pembuktian di depan pengadilan. Sebelum kita melangkah pada proses pembuktian di pengadilan, terdapat langkah-langkah yang dapat kita tempuh yaitu dengan membuat surat peringatan atau teguran, yang biasa dikenal dengan istilah SOMASI.
Pedoman penting dalam menafsirkan suatu perjanjian:
1)      Jika kata-kata dalam perjanjian jelas, maka tidak diperkenankan menyimpangkan dengan penafsiran.
2)      Jika mengandung banyak penafsiran, maka harus diselidiki maksud perjanjian oleh kedua pihak, dari pada memegang teguh arti katakata.
3)      Jika janji berisi dua pengertian, maka harus dipilih pengertian yang memungkinkan janji dilaksanakan
4)      Jika kata-kata mengandung dua pengertian, maka dipilih pengertian yang selaras dengan sifat perjanjian
5)      Apa yang meragukan, harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan
6)      Tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya

C. Akibat Perjanjian
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian,
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga.

D. Berakhirnya Perjanjian
Perjanjian berakhir karena :
a. ditentukan oleh para pihak berlaku untuk waktu tertentu
b. undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian
c. para pihak atau undang-undang menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka persetujuan akan hapus.
Peristiwa tertentu yang dimaksud adalah keadaan memaksa (overmacht) yang diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata.

Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, misalnya karena adanya gempa bumi, banjir, lahar dan lain-lain.

Keadaan memaksa absolut adalah suatu keadaan di mana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar (force majeur).
Akibat keadaan memaksa absolut (force majeur) :
a. debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata)
b. kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
c. keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Keadaan memaksa ini tidak mengakibatkan beban resiko apapun, hanya masalah waktu pelaksanaan hak dan kewajiban kreditur dan debitur.
d. pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging) yang dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak pada perjanjian yang bersifat sementara misalnya perjanjian kerja
e. putusan hakim
f. tujuan perjanjian telah tercapai
g. dengan persetujuan para pihak (herroeping).

Ditinjau dari Hukum Publik
A. Pengertian Perjanjian
Dalam Hukum Publik, perjanjian disini menunjuk kepada Perjanjian Internasional. Saat ini pada masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Perjanjian Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya.
Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian Internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft-draft pasal-pasal yang disiapkan oleh Komisi Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di Wina dari tanggal 26 Maret sampai dengan 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April – 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention on the Law of Treaties yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan merupakan hukum internasional positif.
Pasal 2 Konvensi Wina 1969 mendefinisikan perjanjian internasional (treaty) adalah suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya.

Pengertian diatas mengandung unsur :
a. adanya subjek hukum internasional, yaitu negara, organisasi internasional dan gerakan-gerakan pembebasan. Pengakuan negara sebagai sebagai subjek hukum internasional yang
mempunyai kapasitas penuh untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional tercantum dalam Pasal 6 Konvensi Wina. Organisasi internasional juga diakui sebagai pihak yang membuat perjanjian dengan persyaratan kehendak membuat perjanjian berasal dari negara-negara anggota dan perjanjian internasional yang dibuat merupakan bidang kewenangan organisasi internasional tersebut. Pembatasan tersebut terlihat pada Pasal 6 Konvensi Wina. Kapasitas gerakan-gerakan pembebasan diakui namun bersifat selektif dan terbatas. Selektif artinya gerakan-gerakan tersebut harus diakui terlebih dahulu oleh kawasan dimana gerakan tersebut berada. Terbatas artinya keikutsertaangerakan dalam perjanjian adalah untuk melaksanakan keinginan gerakan mendirikan negaranya yang merdeka.

b. rezim hukum internasional.
Perjanjian internasional harus tunduk pada hukum internasional dan tidak boleh tunduk pada suatu hukum nasional tertentu. Walaupun perjanjian itu dibuat oleh negara atau organisasi, internasional namun apabila telah tunduk pada suatu hukum nasional tertentu yang dipilih, perjanjian tersebut bukanlah perjanjian internasional.

B. Syarat sahnya perjanjian
Berbeda dengan perjanjian dalam hukum privat yang sah dan mengikat para pihak sejak adanya kata sepakat, namun dalam hukum publik kata sepakat hanya menunjukkan kesaksian naskah perjanjian, bukan keabsahan perjanjian. Dan setelah perjanjian itu sah, tidak serta merta mengikat para pihak apabila para pihak belum melakukan ratifikasi.
Tahapan pembuatan perjanjian meliputi :
a. perundingan dimana negara mengirimkan utusannya ke suatu konferensi bilateral maupun multilateral
b. penerimaan naskah perjanjian (adoption of the text) adalah penerimaan isi naskah perjanjian oleh peserta konferensi yang ditentukan dengan persetujuan dari semua peserta melalui pemungutan suara
c. kesaksian naskah perjanjian (authentication of the text), merupakan suatu tindakan formal yang menyatakan bahwa naskah perjanjian tersebut telah diterima konferensi. Pasal 10 Konvensi Wina, dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah perjanjian atau sesuai dengan yang telah diputuskan oleh utusan-utusan dalam konferensi. Kalau tidak ditentukan maka pengesahan dapat dilakukan dengan membubuhi tanda tangan atau paraf di bawah naskah perjanjian.
d. persetujuan mengikatkan diri (consent to the bound), diberikan dalam bermacam cara tergantung pada permufakatan para pihak pada waktu mengadakan perjanjian, dimana cara untuk menyatakan persetujuan adalah sebagai berikut :
  • Penandatanganan
Pasal 12 Konvensi Wina menyatakan :
§  persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian dapat dinyatakan dalam bentuk tandatangan wakil negara tersebut
§  bila perjanjian itu sendiri yang menyatakannya
§  bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding menyetujui demikian
§  bila full powers wakil-wakil negara menyebutkan demikian atau dinyatakan dengan jelas pada waktu perundingan.
  • pengesahan, melalui ratifikasi dimana perjanjian tersebut disahkan oleh badan yang berwenang di negara anggota.

C. Akibat perjanjian
1) Bagi negara pihak :
Pasal 26 Konvensi Wina menyatakan bahwa tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik atau in good faith. Pelaksanaan perjanjian itu dilakukan oleh organ-organ negara yang harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaannya. Daya ikat perjanjian didasarkan pada prinsip pacta sunt servanda.

2) Bagi negara lain : Berbeda dengan perjanjian dalam lapangan hukum privat yang tidak boleh menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak ketiga, perjanjian internasional dapat menimbulkan akibat bagi pihak ketiga atas persetujuan mereka, dapat memberikan hak kepada negara-negara ketiga atau mempunyai akibat pada negara ketiga tanpa persetujuan negara tersebut (contoh : Pasal 2 (6) Piagam PBB yang menyatakan bahwa negara-negara bukan anggota PBB harus bertindak sesuai dengan asas PBB sejauh mungkin bila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional).
Pasal 35 Konvensi Wina mengatur bahwa perjanjian internasional dapat menimbulkan akibat bagi pihak ketiga berupa kewajiban atas persetujuan mereka dimana persetujuan tersebut diwujudkan dalam bentuk tertulis.

D. Berakhirnya perjanjian
(1) sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri
(2) atas persetujuan kemudian yang dituangkan dalam perjanjian tersendiri
(3) akibat peristiwa-peristiwa tertentu yaitu tidak dilaksanakannya perjanjian, perubahan kendaraan yang bersifat mendasar pada negara anggota, timbulnya norma hukum internasional yang baru, perang.