EKONOMI INTERNASIONAL
KUALA LUMPUR - Kebijakan pemberian subsidi oleh sejumlah negara di Asia dinilai bakal memunculkan masalah baru di masa mendatang. Alih-alih mengendalikan laju inflasi, langkah tersebut dinilai justru memperparah inflasi ke depan.
Setelah berhasil melepaskan diri dari jeratan krisis ekonomi global pada 2008, negara-negara di kawasan Asia kini tengah menghadapi sejumlah masalah baru, termasuk ancaman overheating dan arus modal dari negara Barat dalam jangka pendek yang bersifat spekulatif. Bahkan, negara-negara tersebut kini dihadapkan kembali pada masalah inflasi menyusul melonjaknya harga pangan dan minyak dunia dalam beberapa pekan belakangan ini akibat serangkaian peristiwa kerusuhan di Timur Tengan dan Afrika Utara.
Kenaikan harga pangan dan minyak mentah dunia yang mendorong percepatan inflasi itu dikhawatirkan memicu kerusuhan. Untuk menghindarinya, pemerintah di sejumlah negara di kawasan Asia mengeluarkan kebijakan yang dianggap populis di masyarakat, termasuk program subsidi, pemberian bantuan langsung tunai (BLT) dan pengendalian harga.
"Ketegangan politik, kerusuhan massal dan kenaikan harga pangan terus berpindah dari satu negara ke negara lain dalam satu kawasan," Ujar Glenn Maguire, pengamat ekonomi Asia di Societe General.
Di Malaysia, pemerintah setempat kembali mengeluarkan kebijakan pemberian subsidi BBM kepada warganya. Langkah serupa juga diambil pemerintah India. Selain mempertahankan subsidi untuk bahan pangan dan BBM, pemerintah New Delhi juga meningkatkan anggaran belanja di bidang sosial sebesar 17 persen guna membantu penduduk miskin di negara itu.
Di China, pemerintah pusat juga memerintahkan pemberian subsidi kepada warga berpendapatan rendah. Bahkan, Pekan lalu, Beijing mengumumkan rencana pemberian BLT secara rutin selama inflasi di negara itu masih tinggi.
Di Singapura, pemerintah setempat belum lama ini mengumukan kebijakan pemberian BLT kepada warga berpenghasilan rendah. Untuk masyarakat kelas menengah, pemerintah Singapura akan memberikan subsidi tak langsung melalui pemotongan pajak penghasilan.
Namun, sejumlah ekonom memperingatkan langkah yang dikeluarkan negara-negara tersebut dinilai kurang tepat dan penuh dengan muatan politis. Mereka bahkan menganggap kebijakan tersebut hanya akan memperparah krisis inflasi dalam jangka panjang.
"Mereka (negara-negara tersebut) hanya menunda masalah sesaat, bukan menyelesaikan. Para politisi sepertinya ingin terpilih kembali sehingga mereka akan melakukan hal tersebut. Sayangnya, kebijakan itu tak baik bagi negara," papar Ilian Mihov, ekonom dari Insead di Singapura.
Menurut Mihov, langkah tepat untuk menghadapi kenaikan harga minyak dan pangan adalah meningkatkan produksi minyak dan pangan. Upaya tersebut dinilai cukup membantu rakyat jika harga pangan dan minyak membubung tinggi.
Ekonom lainnya dari HSBC, Wellian Wiranto, menilai kebijakan pemberian subsidi itu hanya mampu mengatasi masalah inflasi sementara waktu. Tak hanya itu, upaya tersebut akan dapat memicu defisit anggaran negara.
"Subsidi yang juga berfungsi sebagai dam (pembendung) kenaikan harga kemungkinan dapat pecah karena bujet terlalu terbebani," ujar Wellian.
sumber : Koran Jakarta edisi senin 7 maret 2011 (ekonomi internasional)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar