Minggu, 01 April 2012

Hukum Perikatan


Definisi
Perikatan adalah hubungan yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak dalam harta kekayaan, dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lainnya wajib memenuhi prestasi itu.
Dari rumus diatas kita lihat bahwa unsur- unsur perikatan ada empat, yaitu :
1. Hubungan hukum
2. Kekayaa
3. Pihak-pihak, dan
4. Prestasi.
Apakah maksudnya? Maksudnya ialah terhadap hubungan yang terjadi dalam lalu lintas masyarakat, hukum meletakkan “hak” pada satu pihak dan meletakkan “kewajiban” pada pihak lainnya.
Apabila satu pihak tidak mengindahkan atau melanggar hubungan tadi, lalu hukum memaksakan supaya hubungan tersebut dipenuhi atau dipulihkan. Untuk menilai suatu hubungan hukum perikatan atau bukan, maka hukum mempunyai ukuran- ukuran (kriteria) tertentu.
Hak perseorangan adalah hak untuk menuntut prestasi dari orang tertentu, sedangkan hak kebendaan adalah hak yang dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Intisari dari perbedaan ini ialah hak perseorangan adalah suatu hak terhadap seseorang, hak kebendaan adalah hak suatu benda. Dulu orang berpendapat bahwa hak perseorangan bertentangan dengan hak kebendaan. Akan tetapi didalam perkembangannya, hak itu tidak lagi berlawanan, kadang- kadang bergandengan, misalnya jual- beli tidak memutuskan sewa (pasal 1576 KUH Perdata).

Sumber Hukum Perikatan
Sumber hukum perikatan adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian
2. Undang- undang, yang dapat dibedakan dalam Undang- undang semata- mata
3. Jurisprudensi
4. Hukum tertulis dan tidak tertulis
5. Ilmu pengetahuan hukum.


Jenis Perikatan
Perikatan dibedakan dalam berbagai- bagai jenis :
1.      Dilihat dari objeknya :
·   Perikatan untuk memberikan sesuatu
·   Perikatan untuk berbuat sesuatu
·   Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu : Perikatan untuk memberi sesuatu (geven) dan untuk berbuat sesuatu (doen). dinamakan perikatan positif dan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu (niet doen) dinamakan perikatan negative
·   perikatan mana suka (alternatif)
·   perikatan fakultatif
·   perikatan generik dan spesifik
·   perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi (deelbaar dan ondeelbaar)
·   perikatan yang sepintas lalu dan terus- menerus (voorbijgaande dan voortdurende).

2.      Dilihat dari subjeknya, maka dapat dibedakan :
·   perikatan tanggung- menanggung (hoofdelijk atau solidair)
·   perikatan pokok dan tambahan ( principale dan accessoir)

3.      Dilihat dari daya kerjanya, maka dapat dibedakan :
·   perikatan dengan ketetapan waktu
·   perikatan bersyarat. Apabila diatas kita berhadapan dengan berbagai jenis perikatan sebagaimana yang dikenal Ilmu Hukum perdata, maka undang- undang membedakan jenis perikatan sebagai berikut:
Ø  Perikatan untuk memberi sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu
Ø  Perikatan bersyarat
Ø  Perikatan dengan ketetapan waktu
Ø  Perikatan mana suka (alternatif)
Ø  Perikatan tanggung- menanggung (hoofdelijk, solidair)
Ø  Perikatan dengan ancaman hukuman
 
4.      Perikatan Untuk Memberi Sesuatu
Dalam setiap perikatan untuk memberikan sesuatu, termaktub kewajiban yang berutang untuk menyerahkan harta benda yang bersangkutan dan merawatnya sebagai seorang bapak rumah tangga yang baik, sampai pada saat penyerahan. Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang, atau lebih luas dari persetujuan- persetujuan tertentu, yang akibat- akibatnya akan ditunjukkan dalam bab- bab yang bersangkutan. Mengenai perikatan memberikan sesuatu, undang- undang tidak merumuskan gambaran yang sempurna. Dari ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa perikatan memberikan sesuatu adalah perikatan untuk menyerahkan (leveren) dan merawat benda ( prestasi) sampai pada saat penyerahan dilakukan. Kewajiban menyerahkan merupakan kewajiban pokok, dan kewajiban merawat merupakan kewajiban preparatoir. Kewajiban preparatoir maksudnya hal- hal yang harus dilakukan oleh debitur menjelang penyerahan dari benda yang diperjanjikan. Dengan perawatan benda tersebut dapat utuh, dalam keadaan baik, dan tidak turun harganya. Apabila dalam perjanjian memberikan sesuatu ada kewajiban mengansuransikan benda yang bersangkutan, kewajiban itu termasuk kewajiban preparatoir. Didalam kewajiban memberikan benda itu, ditentukan pula bahwa debitur harus memelihara benda- benda tersebut sebagai seorang bapak rumah tangga yang baik (als een goed huis vader).

5.      Perikatan Untuk Berbuat Sesuatu atau Tidak Berbuat Sesuatu
“ Apabila yang berhutang tidak memenuhi kewajibannya didalam perikatan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, maka diselesaikan dengan memberikan ganti rugi berupa biaya dan bunga” (pasal 1239 KUH Perdata). Dalam pada itu, yang berpiutang berhak menuntut penghapusan segala sesuatu yang dibuat berlawanan dengan perikatan, dan ia boleh meminta supaya dikuasakan kepada hakim agar menghapus segala sesuatu yang telah dibuat tadi diatas biaya yang berutang, dengan tidak mengurangi hak penggantian biaya rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu (pasal 1240 KUHPerdata). Ketentuan ini mengandung pedoman untuk melakukan eksekusi riel pada perjanjian agar tidak berbuat sesuatu.
Yang dimaksud dengan riele eksekusi ialah kreditur dapat mewujudkan sendiri prestasi yang dijanjikan dengan biaya dari debitur berdasarkan kuasa yang diberikan Hakim. Hal itu dilakukan apabila debitur enggan melaksanakan prestasi itu. Riele eksekusi hanya dapat diadakan dalam perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Pada perikatan untuk berbuat sesuatu ada hal- hal yang tidak dapat diadakan eksekusi riele, yaitu apabila perikatan itu sangat pribadi, misalnya perjanjian untuk melukis atau bernyanyi. Dalam hal ini, untuk melindungi agar kreditur dapat meminta ganti rugi. Di samping menuntut ganti rugi, kreditur dapat juga menuntut uang pemaksa (dwangsom) dari debitur. Apabila kreditur menuntut ganti rugi, haruslah benar- benar dapat dibuktikan bahwa ia menderita kerugian, sedangkan dalam hal menuntut uang paksa cukuplah kreditur mengemukakan bahwa debitur tidak memenuhi kewajibannya.

Parate Eksekusi
Sebagaimana diketahui, untuk melaksanakan riele eksekusi harus dipenuhi satu syarat, yaitu izin dari hakim. Ini adalah sebagai akibat berlakunya suatu azas hukum, yaitu orang tidak diperbolehkan menjadi hakim sendiri. Seorang kreditur yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari seorang yang tidak memenuhi kewajibannya, harus minta bantuan pengadilan. Akan tetapi, sering debitur dari semula sudah memberikan persetujuan apabila ia sampai lalai, kreditur berhak melaksanakan sendiri hak- haknya menurut perjanjian tanpa perantaraan hakim. Jadi, pelaksanaan prestasi yang dilakukan sendiri oleh kreditur tanpa melalui hakim disebut parate eksekusi. “jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, pihak manapun yang berbuat berlawanan dengan perikatan, karena pelanggaran itu dan karena itu pun saja, berwajiblah ia akan penggantian biaya rugi dan bunga “ ( pasal 1242 KUH Perdata).

6.      Ingkar Janji (Wanprestatie)
wujud dari tidak memenuhi perikatan itu ada tiga macam, yaitu :
§ Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan
§ Debitur terlambat memenuhi perikatan
§ Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan.
Dalam kenyataannya, sukar menentukan saat debitur dikatakan tidak memenuhi perikatan karena ketika mengadakan perjanjian pihak- pihak tidak menentukan waktu untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Bahkan dalam perikatan, waktu untuk melaksanakan prestasi ditentukan, cedera janji tidak terjadi dengan sendirinya.

Pernyataan Lalai (ingebreke stelling)
Akibat yang sangat penting dari tidak dipenuhinya perikatan ialah kreditur dapat meminta ganti rugi atas biaya rugi dan bunga yang dideritanya.
Adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur, maka Undang- undang menentukan bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai (ingebreke stelling). “Lembaga “Pernyataan Lalai” ini adalah merupakan upaya hukum untuk sampai kepada sesuatu fase, dimana debitur dinyatakan “ingkar janji” (pasal 1238 KUH Perdata).
“ yang berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akte sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demikian perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa siberutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan” (pasal 1238 KUH Perdata)

Bentuk- bentuk pernyataan lalai bermacam- macam, dapat dengan :
a.  Surat Perintah (bevel)
yang dimaksud dengan surat perintah ( bevel) adalah exploit juru sita. Exploit adalah perintah lisan yang disampaikan juru sita kepada debitur. Didalam praktek, yang ditafsirkan dengan exploit ini adalah “salinan surat peringatan” yang berisi perintah tadi, yang ditinggalkan juru sita pada debitur yang menerima peringatan. Jadi bukan perintah lisannya padahal “turunan” surat itu tadi adalah sekunder.
b. Akta Sejenis (soortgelijke akte)
Membaca kata- kata akta sejenis, maka kita mendapat kesan bahwa yang dimaksud dengan akta itu ialah akta atentik yang sejenis dengan exploit juru sita.
c.  Demi Perikatan Sendiri
Perikatan mungkin terjadi apabila pihak- pihak menentukan terlebih dahulu saat adanya kelalaian dari debitur didalam suatu perjanjian, misalnya pada perjanjian dengan ketentuan waktu. Secara teoritis suatu perikatan lalai adalah tidak perlu, jadi dengan lampaunya suatu waktu, keadaan lalai itu terjadi dengan sendirinya.

7.      Ganti Rugi
“ Debitur wajib membayar ganti rugi, setelah dinyatakan lalai ia tetap tidak memenuhi perikatan itu”. (pasal 1243 KUH Perdata). “ganti rugi terdiri dari biaya rugi dan bunga” (pasal 1244 s.d. 1246 KUH Perdata). “ ganti rugi itu harus mempunyai hubungan langsung (hubungan kausal) dengan ingkar janji” (pasal 1248 KUH Perdata). Ada kemungkinan bahwa ingkar janji itu bukan kesalahan debitur, tetapi keadaan memaksa (force mayeur) bagaimana ganti rugi itu diselesaikan oleh ajaran resiko.
Pedoman- pedoman yang diberikan Undang- undang jika terjadi keadaan memaksa adalah sebagai berikut :
a)      “dalam perikatan untuk memberikan sesuatu tertentu, sejak perikatan akhir benda itu atas tanggungan kreditur. Jika debitur lalai menyerahkannya, sejak kelalaian itu benda tersebut menjadi tanggungan debitur” ( pasal 1237 KUHPerdata).
b)      “debitur tidak membayar ganti rugi, jika ia berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, karena adanya keadaan memaksa” (pasal 1245 KUHPerdata).
c)      “jika benda yang dijual berupa barang sudah ditentukan maka walaupun penyerahannya belum dilakukan sejak saat pemberian tanggung jawab ada pada debitur” (pasal 1460 KUHPerdata ).
d)     “ debitur dibebaskan dari perikatan, jika sebelum ia lalai menyerahkan benda, benda itu musnah atau hilang “ (pasal 1444 KUHPerdata).

8.      Perikatan Bersyarat
“Perikatan adalah bersyarat jika digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut” (pasal 1253 KUH Perdata).
Perikatan bersyarat dilawankan dengan perikatan murni yaitu perikatan yang tidak mengandung suatu syarat. Suatu syarat harus tegas dicantumkan dalam perikatan. Undang- undang menentukan syarat- syarat yang tidak boleh dicantumkan dalam suatu perikatan, yaitu:
§ bertujuan melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan
§ bertentangan dengan kesusilaan
§ dilarang undang- undang
§ pelaksanaannya tergantung dari kemauan orang terikat.
Salah satu syarat yang penting didalam perjanjian timbal balik adalah ingkar janji. “Ingkar Janji adalah syarat batal” (pasal 1266 KUH Perdata). Syarat batal dianggap selalu ada dalam perjanjian timbal balik. Jika syarat batal itu terjadi, perjanjian tidak batal dari segi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan itu juga harus dilakukan walaupun ingkar janji sebagai syarat batal dicantumkan didalam perjanjian.

9.      Perikatan Dengan Ketetapan Waktu
Perikatan dengan ketetapan waktu adalah suatu perikatan yang tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya. Ketetapan waktu yang dapat menangguhkan atau mengakhiri perikatan.

10.  Perikatan Alternatif
Dalam perikatan alternatif debitur dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu barang yang disebutkan dalam perikatan, tetapi ia tidak dapat memaksa yang berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang yang lain. Hak pilih ada pada yang berpiutang jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada yang berpiutang.

Perikatan alternatif menjadi murni jika salah satu dari barang- barang yang dijanjikan hilang.
                          i.      “jika salah satu dari kedua barang yang dijanjikan tidak dapat menjadi pokok perikatan “( pasal 1274 KUHPerdata).
                        ii.      “ jika salah satu barang yang dijanjikan itu hilang atau musnah” (pasal 1275 KUH Perdata).
                      iii.      “ jika salah satu barang yang dijanjikan karena kesalahan yang berutang tidak lagi dapat diserahkan” (pasal 1275 KUH Perdata)


11.  Perikatan Tanggung Renteng
“suatu perikatan terjadi antara beberapa orang yang berpiutang, jika didalam perjanjian secara tegas kepada masing-masing diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh hutang, sedangkan pembayaran yang dilakukan kepada salah satu membebaskan orang yang berhutang meskipun perikatan menurut sifatnya dapat dipecah dan dibagi antara orang yang berpiutang tadi ( pasal 1278 KUHPerdata).

Perikatan tanggung-menanggung yang pihaknya terdiri dari beberapa kreditur itu dinamakan perikatan tanggung menanggung aktif.

Hak pilih pada debitur
Hak pilih pada debitur adalah terserah kepada yang berutang untuk memilih apakah ia akan membayar utang kepada yang satu atau kepada yang lainnya di antara orang-orang yang berpiutang, selama ia belum digugat oleh salah satu. Meskipun demikian pembebasan yang diberikan salah seorang yang berpiutang dalam suatu perikatan tanggung menanggung, tidak dapat membebaskan si berpiutang untuk selebihnya dari bagian orang yang berpiutang tersebut.

Tanggung renteng pasif
Tanggung renteng pasif adalah terjadinya suatu periktatan tanggung menanggung diantara orang-orang yang berhutang, yang mewajibkan mereka melakukan suatu hakl yang sama. Demikian pula salah seorang dapat dituntut untuk seluruhnya, dan pemenuhan oleh salah seorang membebaskan orang-orang berutang yang lainnya terhadap si berpiutang.
Yang berpiutang dalam suatu perikatan tanggung menanggung dapat menagih piutangnya dari salah seorang berutang yang dipilihnya dengan tidak ada kemungkinan bagi orang ini untuk meminta supaya utang dipecah. Perikatan tanggung renteng memberi jaminan yang kuat kepada penagihan terhadap si A apabila memenuhi kegagalan, ia dapat menagih seluruh piutang kepada si B dan kalau ini pun gagal ia dapat menagihnya kepada si C. oleh karena itu, hipotek, gadai., fiducia, dan perjanjian tanggung renteng termasuk dalam Hukum Jaminan. “undang-undang juga memberikan pengaturan tentang hubungan intern antara para debitur dalam hal salah seorang dari debitur yang telah melunasi seluruh hutangnya, bertanggung jawab untuk bagiannya sendiri dan tidak untuk bagian dari debitur lainnya dan berhak menuntut kembali dari orang-orang yang turut berutang lainnya jumlahnya yang sesuai dengan bagian masing-masing” (pasal 1293 KUHPerdata).
Di dalam praktik, yang selalu terjadi adalah perikatan tanggung menanggung pasif.

12.  Perikatan yang Dapat Dibagi dan yang Tidak Dapat Dibagi
Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi adalah suatu perikatan mengenai suatu barang yang penyerahannya, atau suatu perbuatan yang pelaksanaannya dapat dibagi-bagi atau tidak dapat dibagi-bagi, baik secara nyata maupun perhitungan.

Perikatan yang dapat dibagi (deelbaar) dan periktaan yang tidak dapat dibagi (ondeelbaar) merupakan bagian yang sukar. Pasal 1296 dan seterusnya, merupakan ketentuan-ketentuan yang gelap dalam KUHPerdata. Secara samar-samar pasal 1296 dan 1297 KUHPerdata membedakan perikatan yang dapat dibagi dan perikatan yang tidak dapat dibagi, berdasarkan sifat dan maksud (strekking). Perbedaan berdasarkan sifat dan maksud perikatan itu dikatakan sama, karena criteria diatas tidak menunjukkan suatu perbedaan yang tepat antara perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.

Perikatan dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi itu, lebih tepat tidak berdasarkan sifat dan maksudnya, tetapi kriteria untuk membedakannya ialah apakah suatu perikatan itu ditinjau dari pengertian hukum (rechkundigezin) dapat dibagi atau tidak dapat dibagi. Hal ini bergantung pada apakah prestasi itu dapat dibagi-bagi dalam bagian yang terpisah-pisah. Misalnya, seekor fisiknya dapat dibagi-bagi, tetapi dalam pengertian hukumnya tidak dapat dibagi karena siapakah yang akan memberi lembu yang dipotong. Keadaan demikian itu, telah melenyapkan hakikat dari lembu.

Demikian juga sekelompok yang menurut pengertian fisiknya dapat dibagi-bagi apabila dari perikatan yang dimaksud ialah untuk membangun suatu peternakan. Dalam hal ini, kumpulan ternak itu dipandang sebagai suatu kelompok yang tidak dapat dibagi-bagi.


13.  Perikatan dengan Ancaman Hukuman
Ancaman hukuman adalah suatu keterangan sedemikian rupa dari seseorang untuk jaminan pelaksanaan perikatan, yang diwajibkan melakukan sesuatu manakala perikatan itu tidak dipenuhi.
Maksud dari ancaman hukuman tersebut adalah :
- untuk memastikan agar perikatan itu benar- benar dipenuhi
- untuk menetapkan jumlah ganti rugi tertentu apabila terjadi wanprestasi dan untuk menghindari pertengkaran tentang hal itu.
Dengan adanya janji ancaman hukuman tersebut, maka kreditur tidak bebas dari kewajiban untuk membuktikan tentang besarnya jumlah kerugian yang dideritanya.

Ancaman hukuman bersifat accesoir
Batal perikatan pokok mengakibatkan batalnya ancaman hukuman. Batalnya ancaman hukuman tidak berakibat batalnya perikatan pokok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar